Pemenang Nobel Fisika – Pada tahun 2024, Royal Swedish Academy of Sciences secara resmi mengumumkan para penerima penghargaan Nobel Prize. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah penghargaan Nobel di bidang Fisika, yang diberikan kepada dua pionir kecerdasan buatan (AI)—Geoff Hinton dan John Hopfield. Kedua ilmuwan ini telah memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan teknologi AI, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern.
Geoff Hinton, yang dikenal sebagai “Bapak Pembelajaran Mendalam (Deep Learning),” telah mengubah dunia dengan inovasi di bidang jaringan saraf buatan. Teknologinya memungkinkan mesin belajar dari data dengan cara yang menyerupai cara otak manusia bekerja. Di sisi lain, John Hopfield, melalui model Hopfield Network yang revolusioner, memberikan landasan teoretis bagi berbagai algoritma AI modern.
Penghargaan Nobel di bidang Fisika untuk kedua pionir ini bukan hanya merayakan keberhasilan mereka dalam bidang fisika komputasional, tetapi juga menandai pentingnya dampak AI dalam sains dan kehidupan sehari-hari. Pengakuan ini memperkuat posisi AI sebagai salah satu teknologi paling transformatif di abad ke-21.
Royal Swedish Academy of Sciences: Penemuan Hinton dan Hopfield Jadi Fondasi Terobosan AI Modern
Dalam pengumuman penghargaan Nobel Prize 2024, Royal Swedish Academy of Sciences menegaskan bahwa kontribusi Geoff Hinton dan John Hopfield menjadi fondasi penting bagi banyak terobosan kecerdasan buatan (AI) yang ada saat ini. Keduanya, yang telah aktif mengembangkan teknologi jaringan neural buatan sejak akhir tahun 1970-an, dinilai telah membuka jalan bagi perkembangan AI modern, mulai dari pembelajaran mendalam (deep learning) hingga aplikasi AI di berbagai sektor.
Teknologi yang dikembangkan oleh Hinton dan Hopfield, terutama di bidang jaringan saraf tiruan, tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang cara kerja otak manusia, tetapi juga memungkinkan mesin untuk belajar dan mengembangkan kemampuan secara mandiri dari data. Dengan kontribusi mereka, AI telah mengalami kemajuan pesat, dari pengenalan suara dan gambar hingga inovasi dalam kendaraan otonom.
Geoff Hinton, dalam pernyataan resminya yang dirilis oleh University of Toronto, mengungkapkan rasa terkejut dan kerendahatiannya atas penghargaan ini. “Saya tidak punya ekspektasi apapun terhadap hal ini. Saya sangat terkejut dan merasa terhormat bisa masuk dalam daftar ini,” ujar Hinton, seperti dikutip oleh The Verge pada Selasa (15/10/2024).
Geoff Hinton: ‘Bapak Deep Learning’ yang Mengubah Dunia AI
Geoff Hinton merupakan salah satu tokoh terkemuka di dunia kecerdasan buatan (AI), dan sering disebut sebagai ‘bapak deep learning’. Karir Hinton di bidang AI dimulai pada tahun 1978, saat ia meraih gelar PhD dan mulai mengeksplorasi potensi jaringan neural buatan. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah pengembangan algoritma ‘backpropagation’, yang menjadi terobosan dalam melatih model AI. Metode ini memungkinkan jaringan neural untuk belajar dari kesalahan yang dibuat, sehingga meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam proses pembelajaran mesin.
Inovasi Hinton terus berkembang, dan pada tahun 2013, Google mengakuisisi perusahaannya, DNNresearch, sebagai bagian dari ambisi raksasa teknologi itu untuk memimpin di bidang AI. Setelah bergabung dengan Google, Hinton berperan penting dalam memperkuat kemampuan AI Google, yang kemudian diterapkan dalam berbagai produk seperti Google Photos, Search, dan layanan berbasis cloud lainnya.
Namun, pada usia 76 tahun, Hinton memutuskan untuk mengundurkan diri dari Google tahun lalu. Kini, dia kembali fokus pada bidang akademik, bekerja sebagai profesor di University of Toronto, tempat di mana banyak peneliti muda bersemangat belajar langsung dari sosok yang telah mengubah wajah AI global ini.
Kecemasan Geoff Hinton Terhadap AI: Ancaman yang Tak Bisa Diabaikan
Meski Geoff Hinton adalah salah satu pionir kecerdasan buatan (AI), dia juga tidak menutupi kekhawatirannya terhadap perkembangan teknologi ini. Dalam beberapa kesempatan, Hinton telah mengungkapkan rasa cemasnya terhadap kemampuan AI yang semakin canggih. Salah satu aspek yang paling membuatnya cemas adalah potensi AI untuk melampaui kecerdasan manusia dan menjadi ancaman yang nyata.
“Saat ini, mereka tidak lebih pintar dari kita. Tapi saya pikir, mungkin segera (mereka lebih pintar),” ujar Hinton, mencerminkan kegelisahannya akan masa depan. Menurutnya, perbedaan mendasar antara manusia dan AI terletak pada bentuk inteligensi mereka—manusia adalah makhluk biologis, sedangkan AI adalah sistem digital. Dan inilah yang membuat AI berpotensi lebih kuat.
Hinton menjelaskan bahwa AI memiliki kemampuan untuk membuat salinan digital yang identik. Setiap salinan dapat belajar secara independen dan berbagi pengetahuan secara instan satu sama lain. “Ini seperti ada 10 ribu orang, dan kapan pun seseorang belajar sesuatu, semua orang secara otomatis mengetahuinya,” ungkap Hinton. Hal ini yang membuat chatbot AI saat ini dapat memiliki akses ke lebih banyak pengetahuan dibandingkan satu orang manusia, dan fenomena ini diprediksi akan semakin berkembang.
Dengan kemampuannya yang dapat belajar dan berkembang jauh lebih cepat dari manusia, Hinton merasa bahwa AI bisa membawa risiko yang tidak boleh diabaikan. Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa bahkan para pencipta teknologi seperti Hinton pun sadar akan potensi ancaman yang AI bawa di masa depan.
AI: Ancaman atau Peluang? Hinton Mengingatkan Bahaya Potensial dan Manfaat Jangka Pendek
Meski Geoff Hinton menyadari potensi bahaya kecerdasan buatan (AI), ia juga menekankan bahwa AI bisa membawa lebih banyak manfaat dalam jangka pendek daripada risiko. Namun, kekhawatirannya tidak bisa dianggap remeh—ia mengingatkan bahwa AI bisa menjadi sangat berbahaya jika kecanggihannya dimanfaatkan oleh orang-orang dengan niat jahat untuk mewujudkan ambisi pribadi atau tujuan destruktif.
Hinton menyadari bahwa AI adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan terobosan besar di berbagai bidang, mulai dari kesehatan hingga transportasi. Di sisi lain, AI bisa dimanfaatkan dengan cara yang tidak etis, menimbulkan ancaman global. “Saya tidak berpikir bahwa kita harus berhenti mengembangkan benda ini,” katanya, menekankan pentingnya tetap melanjutkan inovasi AI meskipun risiko sudah mulai terlihat. Hinton mengingatkan, jika negara-negara seperti Amerika Serikat berhenti mengembangkan AI, negara lain seperti China akan mengambil alih dan jauh memimpin dalam teknologi ini.
Baginya, solusi terbaik adalah memastikan bahwa AI dikembangkan dengan pengawasan dan antisipasi risiko. Hinton berharap pemerintah dan pembuat kebijakan di seluruh dunia bisa mempersiapkan langkah-langkah yang tepat untuk mengendalikan potensi bahaya teknologi ini. Dengan regulasi dan kolaborasi global yang kuat, AI dapat dikembangkan secara bertanggung jawab, sehingga manfaatnya dapat dimaksimalkan tanpa mengabaikan risikonya.
Baca juga artikel kesehatan lainnya.